STOP Pernikahan Dini!!!

STOP Pernikahan Dini!!!

Dimulai
31 Mei 2022
Tanda tangan: 47Tujuan Berikutnya: 50
Dukung sekarang

Alasan pentingnya petisi ini

Biro Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa praktek pernikahan dini masih umum terjadi di Indonesia. Pada perkembangan terakhir ternyata belum ada perubahan dalam fenomena pernikahan usia dini. Data tentang anak di Indonesia menunjukkan bahwa berdasarkan laporan pencapaian Millenium Develoment Goal’s (MDG‟s) Indonesia pada tahun 2009 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan Pengawasan Pembangunan Nasional) menyebutkan, bahwa penelitian Monitoring Pendidikan oleh Education network for justice pada enam desa/kelurahan kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara). Kota Bogor Jawa Barat, dan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur menemukan 28,10% informan menikah dibawah usia 18 tahun, mayoritas mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03%. Dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di Jawa Timur (58,31%). Angka tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25% dari jumlah pernikahan yang ada. Menurutnya bahkan di beberapa daerah prosentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43%), Kalimantan Selatan (35,48%), Jambi (30,63%) , Jawa Barat (36%) dan Jawa Tengah (27,84%). Pernikahan lebih muda ditemukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di kawasan Pantura, perkawinan usia dini mencapai 35% dan 20% pernikahan yang dilakukan pada usia 9 sampai 11 tahun, (Fikih-20012). Kondisi ini adalah perampasan hak anak-anak yang semestinya mereka menikmati masa kanak-kanaknya bermain dengan teman sebaya beralih menjadi seorang ibu dalam keluarga, yang sebenarnya mereka belum mampu.

Fenomena sosial pernikahan dini yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidaklah jauh berbeda, penyebab utamanya adalah bahwa perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah sering berakhir dengan pernikahan dini. Selain itu situasi ini terjadi,karena kuatnya adat istiadat serta pemenuhan tuntutan sosial budaya dan ekonomi untuk menikah sebelum melampaui usia perkawinan yang dianggap cukup. Menyebabkan anak perempuan sangat singkat menempuh pendidikan, di pihak lain karena kurangnya kesadaran orang tua arti pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya. Keterbatasan pendidikan akan menyulitkan mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam keluarga baik ekonomi, kesehatan sebagai ibu maupun kesehatan balita dan bahkan berujung dengan kematian.

Melihat fenomena banyaknya usia menikah yang sangat muda, tentunya akan banyak mengalami masalah dalam kehidupan sosial. Pada usia tersebut mereka terpaksa melahirkan, memicu pasangan muda memiliki banyak anak karena tingkat fertilitas atau kesuburan yang tinggi. Jika kesuburan sampai 40 tahun, berarti jika dua tahun sekali melahirkan maka jumlah anak mencapai 15 orang, jika tiga tahun sekali, maka jumlah anak mencapai 10 orang. Sementara secara fisik dan mental mereka belum siap untuk melahirkan, bagaimanapun juga mereka harus berhadapan dengan berbagai macam resiko kehidupan seperti kematian ibu, kematian bayi dan juga berakhirnya rumah tangga dengan perceraian. Pada pada tahun 2012 angka kematian ibu mencapai 123 kasus, tetapi terjadi penurunan pada tahun 2013 angka kematian ibu mencapai 60 kasus.

Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 dengan jelas menentang pernikahan anak, namun kenyataannya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia terutama di Indonesia, ini menggambarkan bahwa perlindungan hak asasi kelompok usia muda belum diperhatikan secara serius. Implementasi Undang-undang sering kali tidak efektif dan terkalahkan oleh adat istiadat tradisi yang mengatur norma sosial kelompok masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun, sejak tanggal 16 September 2019, DPR telah mengesahkan revisi terhadap undang-undang tersebut. Berdasarkan revisi tersebut, batas usia menikah baik pria maupun wanita adalah 19 tahun. Namun, pada kenyataannya, ada begitu banyak anak di bawah usia 19 tahun yang melakukan pernikahan dini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, terdapat 34 ribu permohonan dispensasi kawin yang terhitung dari bulan Januari-Juni tahun 2020. Dari total tersebut 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.

Pernikahan dini dapat dipicu dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitar seseorang. Berdasarkan Ari (2014), berikut beberapa alasan maraknya pernikahan dini di tengah-tengah masyarakat saat ini.

1. Faktor Ekonomi

Biasanya terjadi ketika sang wanita berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Sehingga orang tuanya memilih untuk menikahkan anak mereka dengan pria yang sudah mapan agar sang anak memperoleh kehidupan yang lebih baik dan beban orang tua berkurang.

2. Faktor Pendidikan

Kurangnya sosialisasi terhadap orang tua atau masyarakat yang berada di daerah seperti pedesaan dan anak yang tidak memiliki akses untuk menempuh pendidikan wajib 12 tahun sehingga dirinya tidak masalah jika dinikahkan di usia dini dan beranggapan bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar.

3. Faktor Orang Tua

Tidak sedikit orang tua yang memilih menikahkan anak mereka karena merasa khawatir anaknya akan melakukan perbuatan zina selama berpacaran, yang dapat menimbulkan aib bagi keluarga mereka.

4. Faktor Media Massa dan Internet  

Di jaman sekarang, sangat mudah bagi semua orang untuk mengakses informasi dari internet. Jika seorang remaja tidak berhati-hati, dirinya dapat terjatuh dalam pergaulan bebas yang dimulai dari rasa penasaran setelah melihat atau membaca informasi yang ia peroleh dari media sosial. Bahkan ada banyak akun-akun di media sosial yang mendukung pernikahan dini.

5. Faktor Hamil di Luar Nikah

Faktor ini timbul sebagai salah satu akibat dari media massa dan internet. Dimana dengan mudahnya akses internet, anak-anak mengetahui apa yang belum seharusnya mereka ketahui. Begitu juga dengan informasi tentang seks, pendidikan seks adalah hal yang penting, namun harus tetap dalam pengawasan orang tua atau guru. Karena jika tidak, dapat menimbulkan dampak yang negatif. Jika hal ini telah terjadi, maka orang tua mau tidak mau harus menikahkan anak mereka meskipun belum mencapai batas usia menikah.  

Berdasarkan teori Erik Erikson (1950), usia remaja adalah saat dimana seseorang mengalami fase identity vs role confusion, yaitu dimana remaja sedang dalam proses mencari jati dirinya yang akan berpengaruh pada hidupnya dalam jangka waktu yang panjang. Jati diri ini berhubungan dengan kepercayaan, konsep ideal dan nilai-nilai yang membentuk karakter. Bisa saja konsep yang diterapkan di lingkungan pergaulannya berbeda dengan konsep yang diterapkan oleh orang tuanya di rumah, sehingga remaja menjadi bingung harus mengikuti yang mana. Di sisi lain, mereka juga sering kali takut akan ditolak oleh lingkungannya apabila tidak mengikuti jalan berpikir atau tindakan teman-teman sebayanya. Misalnya, ketika lingkungan disekitarnya menganggap bahwa berhubungan seksual sebelum menikah adalah hal yang biasa. Namun, ajaran dalam keluarganya menolak dengan keras tentang sex sebelum menikah. Jika remaja tersebut memilih jalan yang salah dan terjebak dalam pergaulan bebas, bisa saja hal-hal tersebut memicu pada pernikahan dini, misalnya karena hamil di luar nikah yang disebabkan remaja secara sadar melakukan hubungan seksual sebelum menikah atas dasar saling menyukai dan bukan karena pemerkosaan. Selain itu, masa remaja adalah saat dimana rasa penasaran seseorang menjadi sangat tinggi dan ingin mencoba banyak hal-hal baru yang ada di sekitarnya tanpa adanya kekangan dari pihak lain seperti orang tua atau guru.

Pernikahan dini berarti bahwa pasangan yang melakukan pernikahan belum memenuhi standar dan belum mencapai batas usia untuk masuk ke dalam kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, pernikahan dini dapat menimbulkan beberapa dampak. Beberapa dampak secara psikologis yaitu:

1. Gangguan Mental

Pasangan suami istri remaja yang melakukan pernikahan dini terutama sebelum menginjak usia 18 tahun, memiliki risiko mengalami gangguan mental sebesar 41%. Contohnya seperti depresi, kecemasan, gangguan disosiatif (kepribadian ganda) dan trauma psikologis seperti PTSD. Hal ini diperoleh dari penilitian yang terdapat dalam jurnal Pediatrics (2011).

UNICEF melaporkan bahwa remaja pada dasarnya belum mampu untuk mengelola emosi dan memutuskan sesuatu dengan baik. Mereka masih memerlukan bimbingan dari orang-orang yang lebih tua. Sehingga ketika terjadi suatu konflik dalam rumah tangga mereka, tidak sedikit pasangan suami istri remaja yang menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Hal inilah yang memicu timbulnya gangguan mental seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, gangguan mental juga dapat timbul sebagai akibat dari keguguran atau kehilangan anak. Pada dasarnya, tubuh wanita remaja masih belum terlalu kuat untuk mengandung dan melahirkan sehingga sangat rentan terjadi keguguran.

2.Kecanduan

Kencanduan dapat berupa kecanduan pada rokok, narkoba, judi atau minuman keras. Hal ini disebabkan karena beberapa pasangan suami istri remaja tidak dapat menemukan cara yang sehat dan tepat untuk mengekspresikan emosi atau mencari distraksi saat menghadapi stres yang diakibatkan oleh masalah rumah tangga.

3. Tekanan Sosial

Masyarakat di negara kita banyak yang tinggal dalam lingkungan komunal. Sehingga keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat dapat membawa suatu beban tersendiri bagi pasangan suami istri remaja. Sang suami merasa tertekan karena di usianya yang masih muda, ia dituntut untuk menjadi kepala rumah tangga yang memiliki pekerjaan yang pasti dan menafkahi keluarganya. Sementara sang istri dituntut untuk mengurus pekerjaan rumah dan membesarkan anak. Padahal secara psikologis, baik sang suami maupun sang istri belum sepenuhnya siap untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Namun jika mereka gagal melakukan tuntutan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang di sekitar akan mengucilkan atau mencap buruk mereka.

Melalui petisi ini saya berharap lebih pada jajaran pemerintahan di daerah agar tidak latah dalam menjalankan program pusat untuk menekan laju pernikahan dini, lakukan inovasi program yang bisa membuat mereka-mereka yang telah melakukan pernikahan dini mau untuk berkonsultasi dan tidak menutup diri untuk bercerita apa yang menyebabkan mereka melakukan hal demikian.

Tidak sampai disitu, jika perlu para petugas penyuluhan melakukan pendekatan personal kepada mereka yang telah melakukan pernikahan dini untuk menjelaskan dampak dari hal tersebut, paling tidak ini tidak diulangi pada anak-cucunya nanti. Kenapa pendekatan personal? Metode ini adalah hal yang efektif dan bersifat preventif tentunya. Jika hanya berkutat pada seminar dan penyuluhan melalui komunitas, apakah hati mereka tertarik untuk mengikuti? Perlu adanya inovasi diluar ini dan pendekatan yang lebih berani .

Serta pencegahan pernikahan dini, dari BKKBN sendiri ada baiknya untuk terus melebarkan garis koordinasi berbentuk mitra kepada jajaran pemerintahan untuk memperbanyak beasiswa pendidikan kepada pemuda-pemudi, agar kalimat “Habis SMA,Terbitlah panggung kondangan” terminimalisir bahkan terhapus dari pemikiran pemuda-pemudi dan lebih memilih melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta jangan pernah melupakan peran orang tua. Ada baiknya peyuluhan yang di intensifkan tidak ditujukan pada pemuda-pemudi saja, melainkan pada orang tua mereka. Karena orang tua memiliki peran vital dalam mempengaruhi pemikiran dan perilaku kepada anak-anaknya. Harapan besar saya adalah pertumbuhan peduduk di Indonesia bisa ditekan dan pernikahan dini terminimalisir.

Dukung sekarang
Tanda tangan: 47Tujuan Berikutnya: 50
Dukung sekarang