Disahkan Hanya dalam 7 Hari, #BatalkanRevisiUUMK!

Disahkan Hanya dalam 7 Hari, #BatalkanRevisiUUMK!
Saat perhatian masyarakat fokus ke pandemi dan hal-hal lain, Pemerintah dan DPR buru-buru sahkan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya dalam 7 hari! Prosesnya juga tertutup, nggak melibatkan publik, dan nggak transparan.
Padahal waktu didesak banyak orang untuk sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat yang dibutuhkan masyarakat, DPR bilang SULIT…!
Okelah kalau pemerintah dan DPR nggak anggap masalah-masalah rakyat itu penting. Tapi apa harus banget sahkan UU MK yang bermasalah, nggak cuman cacat secara prosedur, tapi juga nggak substantif, nggak mendesak dan sarat akan kepentingan politis.
Apa aja yang berubah dari revisi UU MK ini? Kini, masa jabatan hakim bertambah dari yang 5 tahun jadi 15 tahun dalam 1 periode. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK bertambah dari 2,5 tahun menjadi 5 tahun. Terus hakim MK juga bertugas sampai usia 70 tahun. Usia minimal hakim pun jadi semakin tua, dari 46 tahun jadi 55 tahun.
Dengan disahkannya revisi UU MK, independensi dan ketidakberpihakan MK akan hilang. Regenerasi hakim-hakim di MK akan berjalan lambat.
Perpanjangan jabatan ini diduga merupakan barter ‘hadiah’ untuk hakim-hakim MK dari pemerintah dan DPR. Inget nggak banyak undang-undang bermasalah yang baru disahkan pemerintah dan DPR? Kayak UU KPK, UU Minerba, UU Keuangan Negara untuk COVID-19. Masyarakat sipil lagi usaha membatalkan pengesahan undang-undang itu lewat uji materi di MK.
Belum lagi beberapa undang-undang kontroversial seperti RUU Cipta Kerja dan RUU Pemilu. Kalau pemerintah dan DPR buru-buru sahkan, kita nggak punya pilihan lain selain uji materi di MK.
Jadi, MK pegang kunci penting untuk batalkan undang-undang yang terlanjur disahkan itu. Maka langkah pemerintah dan DPR untuk buru-buru sahkan revisi UU MK ini jelas banget kelihatan sebagai ‘barter’. Mereka-mereka untung, rakyat buntung!
Kalau mau revisi UU MK yang bener, kenapa nggak memasukkan soal penguatan sistem pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik dan penyempurnaan serta penyeragaman standar rekrutmen hakim MK dari lembaga pengusul (MA, Pemerintah dan DPR)? Tanpa adanya standarisasi rekrutmen, susunan jabatan hakim di MK pun berpotensi diisi oleh para hakim yang hanya tunduk pada lembaga yang mengusulkannya.
Revisi UU Mahkamah Konstitusi menunjukkan betapa Indonesia tengah berada di titik paling rendah dalam berkonstitusi. Revisi UU ini adalah cermin politisasi kekuasaan kehakiman.
Karena itulah, kami sedang usaha buat batalin revisi UU MK ini dengan menyusun pengujian konstitusionalitas UU Mahkamah Konstitusi, baik dari segi formil maupun materiil.
Dukung kami ya dengan tandatangani dan sebarkan petisi ini biar semakin banyak orang yang sadar dan ikut bergerak untuk membatalkan revisi undang-undang yang berpotensi merusak proses demokrasi konstitusional Indonesia.
Karena gak kebayang sih, kalau UU MK ini udah mulai berjalan, maka pengajuan pembatalan UU kontroversial ke MK yang selama ini diperjuangkan masyarakat sipil akan makin sulit.
Salam,
Putrida Sihombing