Terbitkan kembali Permenkes dan pedoman Sunat Perempuan karena berbeda dengan FGM

Terbitkan kembali Permenkes dan pedoman Sunat Perempuan karena berbeda dengan FGM
Alasan pentingnya petisi ini

TINJAUN HUKUM SUNAT PEREMPUAN
Bahwa sudah tidak diragukan lagi, menurut hukum islam, Sunat adalah dianjurkan baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.
Mengenai sunat bagi anak perempuan tidak ada perselisihan tentang pen-syariat-tannya, namun para ulama hanya berbeda pendapat saja mengenai apakah hukumnya sunah atau wajib
Alasan kedua adalah sunat adalah salah satu bentuk pembeda ciri antara muslim dengan non muslim.
“Fithrah itu ada lima: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.“(HR. Bukhari Muslim)
“Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
Atas dasar hadis tersebut, ulama menentukan hukum bahwa khitan itu wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan.
Menurut Ahli
“Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut sunat perempuan bersifat makrumah (ibadah yang dianjurkan). Tata cara pelaksanaan khitan perempuan menurut ajaran Islam adalah cukup dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris”
Ajaran agama Islam melarang praktik khitan perempuan yang dilakukan secara berlebihan seperti memotong atau melukai klitoris (inisisi dan eksisi) yang mengakibatkan bahaya. “Ada beberapa negara yang berlebihan, tapi yang kita lakukan tidak berlebihan. Karenanya menolak tegas adanya pelarangan khitan perempuan karena melanggar UU,” ujar Ketua MUI Dr KH Ma’ruf Amin “
Praktik sunat perempuan yang dikenalnya adalah penyayatan penutup klitoris semata. Jangan dibayangkan penyayatan ini akan membuat organ genital anak perempuan jadi berdarah-darah. Sebab hanya dengan menggunakan jarum saja, lapisan penutup klitoris sudah bisa dirobek. DR. dr. Nur Rasyid, SpU(K), Ketua Departemen Urologi RSCM.
dr Nur Rasyid dlm perbincangan dg detikHealth, (26/6/2013). “Itu merupakan puncak atas dari vagina, jadi kulitnya disayat supaya klitorisnya semakin terekspos jadi justru wanita bisa menikmati rangsangan lebih baik. Tidak ada yang dibuang dari sunat wanita itu,”
Apa yang harus diperankan oleh Negara
Bahwa Sunat Perempuan adalah merupakan ajaran dan anjuran bagi pemeluk Agama Islam yang telah ditaati beribu tahun di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia sehingga sudah menjadi sikap budaya bangsa Indonesia dan hampir tidak pernah terdengar di masyarakat kita bahwa telah terjadi malapetaka dengan adanya sunat tersebut. Pemeluk Agama Islam merasa tenang dan terhormat apbila dapat melaksanakan ibadah yang berupa sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Oleh karenanya, berdasarakan:
1. Pancasia, sila ke 1;
2. Pembukaan UUD 1945 Pasal 29, Pasal 28E dan 28H
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (1), ayat(3) serta Pasal 2 dan Pasal 4
Negara harus turut aktif untuk turut serta menyelenggarakan keberlangsungan sunat perempuan ini karena merupakan amanah kehidupan bernegara negara yang dijamin oleh Undang-undang Dasar dan undang lainnya yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Dasar 1945 tersebut.
Peraturan tentang Sunat Perempuan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1636/ MENKES/PER/XI/2010 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan (“Permenkes 1636/2010”)
Mengutip pertimbangan dalam Permenkes 1636/2010 ini, diharapkan peraturan ini dapat memberikan perlindungan pada perempuan dengan pelaksanaan sunat perempuan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat.
Pasal 1 angka 1
Sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1636/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG SUNAT PEREMPUAN.
Pasal 1
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).
Bahwa Permenkes No.6 Tahun 2014 tersebut di atas bukan merupakan pelarangan atas pelaksanaan praktek sunat perempuan, namun hanya memberikan arahan agar sunat perempuan itu tidak menimbulkan akibat yang fatal bagi perempuan. Hal ini bisa dilihat dari kalimat “mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation)” dimana arti mutilation, menurut Black Law Dictionary, adalah The act of cutting off or permanently demaging a body part/ pemotongan atau pengerusakan bagian dari tubuh secara permanen.
Menurut Hukum, dengan dicabutnya peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 terjadilah kekosongan hukum. Artinya, tidak ada hukum secara ekspisit yang mengatur sunat perempuan; tidak ada larangan dan juga tidak ada penganjuran.
Namun demikian, apabila dilihat pada Pasal 2 Permenkes No.6 Tahun 2014:
“Memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation)”
Maka sunat perempuan masih tetap dianjurkan sambil menunggu petunjuk dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Sayarak. Apabila Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak belum mengeluarkan pedoman, maka pihak yang memerlukan boleh menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 sebagai pedoman atau dengan cara lain yang tidak akan melanggar peraturan perundang-undangan.
Bahwa Sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, didasarkan atas anjuran agama sebagaimana sholat, zakat, korban dan lain-lainnya.
Oleh karenanya, berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang ada dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan yang ada dalam sila kesatu dalam Pancasila serta Pasal 29 ayat(1) dan ayat (2) Undang –undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, Negara wajib menghargai dan melindungi praktek sunat perempuan yang telah merupakan tindakan sejak lama dianut oleh masyarakat Islam Republik Indonesia sehingga mendapat istilah sebagai budaya agama Islam. Artinya, bahwa sunatan itu sudah merupakan paham yang mendarah daging bagi rakyat Indonesia yang beragama Islam.
Bahwa peraturan-peraturan yang mengatasnamakan kesehatan atau mengatasnamakan hak asasi manusia dalam melarang sunat bagi umat Islam adalah bertentangan dengan hak asasi manusia itu sendiri karena hak asasi manusia pada hakekatnya menyangkut hak untuk menentukan dan melaksanakan agama dan keyakinannya. Pelarangan tersebut, bahkan, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya:
Pasal 1 ayat ( 3) tentang diskriminasi:
” Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 1 di atas mengandung unsur-unsur:
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status social.
3. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani.
Bahwa dari segi hak asasi manusia sunat perempuan tidaklah merupakan pelanggaran karena adanya:
1. Merupakan motifasi agama yang harus dilindungi hak asasi manusia.
2. Bukan merupakan diskrimminasi karena yang disunat akan merasa lebih berharga dan terhormat, mendapatkan penghargaan dan penghormatan di lingkungannya.
3. Perbuatan penyunatan perempuan bukan merupakan penyiksaan karena yang disunat merasa lebih aman dan nyaman.
4. Bukan merupakan pengrusakan/penghancuran alat kelamin perempuan, tapi justru membuka kulit yang menghalang-halangi tersentuhnya bagian intim perempuan dan juga membersihkan bagian intim dari perempuan tersebut.
Apabila ada larangan sunat perempuan, maka larangan tersebut melanggar Pasal I ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena merupakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama.
Sebelum ini, Sunat bagi perempuan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.1636/Menkes/XI/2010. Untuk selanjutnya peraturan menteri tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.6 Tahun 2014. Akan tetapi, peraturan Menteri No.6 Tahun 2014 bukan berarti melarang para pihak untuk menjalankan ibadah keagamaan yang diyakininya, namun tetap mengharai dengan mengatur bagaimana sunat bagi perempuan tidak merugikan bagi perempuan tersebut. Atau dengan kata lain, mencegah jangan sampai timbul ekses yang tidak diinginkan, baik dari segi kesehatan lahiriyah maupun kesehatan mental.
Pasal 2 dari Peraturan menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut:
Memberikan mandat kepada Majelsi pertimabangan kesehatan dan syarak untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuanyang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).
Secara hukum, dengan kata “dicabut”nya peraturan tersebut, maka terjadi kekosongan hukum untuk sunat perempuan. Arti kekosongan di sini adalah tidak ada hukum yang melarang maupun yang menganjurkan.
Namun demikian, ditinjau dari Pasal 2 (dua) “Memberikan mandat kepada Majelis pertimabangan kesehatan dan syarak untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuanyang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation)” dari Peraturan Menteri Kesehatan No.6 Tahun 2014 tersebut, maka sunat perempuan tidak dilarang, bahkan masih tetap dianjurkan dan dilindungi oleh maksud peraturan tersebut.
Untuk pelaksanaannya, diserahkan kepada para pihak yang ingin melaksanakannya. Akan tetapi, karena belum ada petunjuk/pedoman dari Majelis Pertimbangan Kesehatan dan syarak, maka para pihak bisa menjadikan Peraturan Menteri Kesehatan No.1636/Menkes/XI/2010 sebagai pedoman pelaksanaa khitan perempuan atau dengan cara yang menjamin kesehatan dan keselamatan perempuan yang dikhitan.
Bahwa karena sunat itu merupakan anjuran agama Islam dan telah lama dipraktekan sebagai tanda kepercayaan umat islam pada Nabi Muhammad SAW yang bersabda tentang khitan:
1. Fitrah itu ada lima; 1. Khitan, 2. Mencukur bulu kemaluan, 3. Mencabut bulu ketek, 4. Menggunting kuku, 5. Mengguntring kumis.
2. Permintaan Rosul Allah pada pengkhitan wanita saat itu: “Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menguntungkan suami”.
Bahwa menurut orang yang beragama Islam, apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW adalah pasti benarnya dan dalam hal sunat ini pasti ada manfaatnya. Oleh karenanya, mengatakan bahwa umat Islam tidak perlu disunat perempuannya karena tidak ada manfaatnya, maka sungguh merupakan penghinaan atas kebenaran dan kepintaran Rosul Allah SAW.
Perlu diketahui oleh Umat Islam bahwa perkataan atau penilaian atas tidak ada manfaatnya sunat perempuan ini awal mulanya bukanlah dari Umat Islam.
Oleh karenanya, sebagai Negara yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa dan yang menjamin untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, haruslah melindungi dan mengarahkan agar umat islam melakukan ibadah sunat dengan cara yang benar.