KECUALIKAN PSIKOLOG KLINIS DARI RUU PRAKTEK / PROFESI / PENDIDIKAN & LAYANAN PSIKOLOGI

KECUALIKAN PSIKOLOG KLINIS DARI RUU PRAKTEK / PROFESI / PENDIDIKAN & LAYANAN PSIKOLOGI
Alasan pentingnya petisi ini
KECUALIKAN Psikolog Klinis dari RUU Pendidikan & Layanan Psikologi / Profesi Psikologi / Praktek Psikologi / apapun namanya
RUU Pendidikan & Layanan Psikologi - awalnya bernama RUU Profesi Psikologi kemudian menjadi RUU Praktek Psikologi - yang diajukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ke DPR pada tanggal 6 Maret 2019, diusulkan oleh Desy Ratnasari dari Fraksi Amanat Nasional, dan disetujui sebagai RUU inisiatif DPR oleh Badan Legislatif DPR pada 29 Juni 2020, mengandung berbagai kompleksitas masalah yang membuat RUU Praktik Psikologi tak kunjung disahkan meski beberapa kali sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Komisi X DPR yang menjadi pembahas RUU tersebut bersama pemerintah, terutama Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan dan Kementrian Hukum dan Asasi Manusia, telah menemukan banyak masalah dalam RUU tersebut, karena pokok materinya bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang sudah ada sebelumnya, terutama yang mengatur praktik psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan yang diakui negara, karena sudah diatur dan terikat dalam :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis.
Sejak tahun 2017, sesuai amanat UU No. 36 Tahun 2014 dan PMK No. 45 Tahun 2017, Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia sebagai organisasi profesi mandiri bagi psikolog klinis telah berbadan hukum, dengan terbitnya SK Kemenkumham no. AHU-0014545.AH.01.07 tahun 2017.
IPK Indonesia sudah memiliki instansi pembina, yaitu Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dengan batasan kewenangan yang ditentukan sesuai fungsinya sebagai organisasi profesi tenaga kesehatan dalam UU No. 36 Tahun 2014.
Surat Tanda Registrasi (STR) Psikolog Klinis diterbitkan oleh negara berdasarkan rekomendasi Konsil Psikologi Klinis (KPK) yang dioperasikan oleh IPK Indonesia - yang saat ini masih digabungkan dalam Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Demikian pula dengan perizinan praktik psikologi klinis dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, seperti halnya tenaga kesehatan yang lain.
Keresahan para psikolog klinis muncul ketika ada beberapa keganjilan dalam pokok materi dan proses perjalanan RUU Praktik / Profesi / Pendidikan & Layanan & Psikologi, antara lain :
1. IPK Indonesia sebagai organisasi profesi tunggal bagi psikolog klinis di Indonesia tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Praktik/Profesi/Pendidikan & Layanan Psikologi.
2. HIMPSI merupakan organisasi yang menampung semua lulusan S1, S2, S3 Psikologi serta psikolog dengan berbagai minat keilmuan, sehingga HIMPSI adalah organisasi yang tidak homogen, yang juga tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang no. 36/2014 pasal 50 tentang ketentuan bahwa setiap tenaga kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) organisasi profesi.
3. kehadiran Lembaga Sertifikasi Psikologi Indonesia yang dibentuk oleh HIMPSI sebagai narasumber RDPU Panja Praktik Psikologi Komisi X DPR pada tanggal 31 Maret dan 24 Mei 2021 jelas-jelas mengandung konflik kepentingan, karena hanya mewakili kepentingan HIMPSI namun tidak mewakili kepentingan Psikolog Klinis.
4. Kehadiran narasumber dari RSUD Pasar Minggu, yang tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang psikolog klinis namun menjelaskan kondisi psikolog klinis, dalam Rapat Panja RUU Praktik Psikologi Komisi X DPR pada tanggal 24 Mei 2021, jelas-jelas merugikan psikolog klinis karena pada saat itu RSUD Pasar Minggu justru tidak memiliki psikolog klinis dan tidak memberikan layanan psikologi klinis.
5. bahwa dengan RUU Praktek / Profesi / Pendidikan & Layanan Psikologi ini, semua tenaga psikologi, baik psikolog maupun ilmuwan, akan diharuskan memiliki surat tanda registrasi dan surat ijin praktek, yang dikeluarkan oleh HIMPSI sebagai organisasi induk. Surat Tanda Registrasi (STR) psikolog adalah pencatatan profesional psikolog yang kompeten dan surat ijin praktek (SIP) psikolog adalah legalitas psikolog untuk berpraktek yang melindungi kepentingan publik dari malpraktek, walaupun telah disebut dalam pasal 18 adanya pengecualian tentang STR dan SIP bagi tenaga kesehatan yang berpraktek di fasilitas layanan kesehatan, karena menurut PMK 45/2017, tempat praktek pribadi psikolog klinis juga termasuk sebagai fasilitas layanan tenaga kesehatan. Pasal 18 RUU ini masih mengandung standar ganda yang akan memberatkan sebagian besar psikolog klinis yang tidak berpraktek di fasilitas layanan kesehatan formal, karena akan menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang diwajibkan memiliki 2 STR dan 2 model Surat Izin Praktik.
6. RUU Praktik / Profesi / Pendidikan & Layanan Psikologi ini jelas-jelas telah menimbulkan tumpang tindih peraturan yang berpotensi mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi psikolog klinis dan mengacaukan peraturan-peraturan pelaksana yang sudah berjalan bagi psikolog klinis.
Psikolog klinis melalui IPK Indonesia berjuang bersama dengan pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk mempertahankan posisi psikolog klinis dalam pengaturan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Pemerintah sendiri telah mengajukan 549 Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dengan rincian 117 DIM Tetap, 259 DIM Hapus, 87 DIM Perubahan Substansi, 86 DIM Penambahan Substansi, dan 124 DIM Perubahan Redaksional terhadap draf awal RUU Praktik Psikologi.
Pengecualian Psikolog Klinis dalam RUU Praktik / Profesi / Pendidikan & Layanan Psikologi menjadi sangat penting karena pengaturan psikolog klinis sudah diatur oleh UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU no. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan PMK no. 45 tahun 2017 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Psikolog Klinis, dengan Surat Tanda Registrasi Psikolog Klinis dan Surat Ijin Praktek Psikolog Klinis sejak tahun 2017 sudah dikeluarkan oleh negara, bukan oleh organisasi manapun.
Jika tidak dikecualikan, psikolog klinis akan dibebani kewajiban 2 STR dan 2 SIP, atau dipaksakan STR dan SIP nya dikeluarkan oleh organisasi lain yang berpotensi meningkatkan berbagai biaya sertifikasi dan pada akhirnya akan semakin memberatkan masyarakat.
Pengurus Pusat Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia