HENTIKAN PENGGUNAAN JUDUL YANG MENYUDUTKAN KATA JANDA DALAM MEDIA DARING!

HENTIKAN PENGGUNAAN JUDUL YANG MENYUDUTKAN KATA JANDA DALAM MEDIA DARING!

0 telah menandatangani. Mari kita ke 5.000.
Dengan 5.000 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin untuk diliput oleh media lokal!
Yayasan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) memulai petisi ini kepada dewan pers dan

Pada awal September 2021 beberapa media dalam jaringan (Daring) beramai-ramai memberitakan fakta tentang tingginya kasus perceraian di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sayangnya judul yang dipilih adalah narasi yang cenderung memojokkan posisi dan status janda di masyarakat. Pemberitaan yang memuat kata janda cenderung untuk menarik perhatian pembaca dengan memanfaatkan persepsi negatif yang ada di masyarakat tentang janda. 

Berdasarkan pemantauan PEKKA, berikut adalah judul-judul yang memberi kesan tersebut: 

1.      “Selama 6 Bulan terakhir, 3.600 Lebih Perempuan di Banyuwangi Jadi Janda” (Suara Indonesia, 03/09/21)

2.      “Tiap Bulan Ada Ratusan Janda Muda Baru di Banyuwangi” (Suara Indonesia, 06/09/21)

3.      Merdeka.com (05/09/21) “Lebih dari 2.900 Perempuan di Banyuwangi Jadi Janda Baru, Begini Faktanya”

4.      “Tingginya Angka Pernikahan Dini Picu Maraknya Janda Usia Produktif” (Suarajatimpost.com, 03/09/21)

Bahkan jika ditelisik lebih jauh, penulisan judul yang menggunakan kata janda dalam persepsi negatif sudah seringkali muncul di beberapa media Daring lainnya. Berikut ini beberapa judul artikel serupa: 

1.      “Tahun Kedua Pandemi Covid-19, Jumlah Janda Meningkat di Surabaya” (iNews.id, 27/08/21)

2.      “Ada 1.355 Janda Baru di Bandung Selama Pandemi Covid-19” (detikNews, 26/06/21)

3.      “Selama Pandemi Corona, Ada Ribuan Janda Baru di Kota Bandung” (jpnn.com, 29/09/21) 

4.      “Ribuan Perempuan Kuningan Lebih Memilih Jadi Janda, Ini Buktinya” (kuninganmass.com, 17/07/20) 

5.      “Ada 2 Ribu Lebih Janda Baru di Serang Selama Pandemik Covid-19” (banten.idntimes.com, 13/07/21)

Judul-judul Media Daring di Indonesia cenderung memojokkan posisi dan status janda di masyarakat. Pemberitaan yang memuat kata janda cenderung untuk menarik perhatian pembaca dengan memafaatkan persepsi negatif yang ada di masyarakat tentang janda. Padahal harusnya dipahami, apabila terjadi perceraian maka selain menyebabkan adanya janda pasti juga menyebabkan adanya duda, sebuah fakta yang sengaja ditinggalkan oleh media karena menggangap kata “janda” lebih “menjual”. Dengan mencantumkan diksi janda dalam judulnya, Media Daring berharap bisa memanen  pembaca (clickbait) yang menguntungkan perusahaan.

Industri media massa sebagai pencipta wacana membawa ideologi yang disebarkan dengan tujuan tertentu. Wacana tersebut diproduksi oleh pembuat teks sebagai pemilik kuasa dalam menginterpretasikan dan merepresentasikan  visi-visinya (O’Saughnessy, 2006:94). Media sebagai pembentuk opini publik di satu sisi memiliki peran penting sebagai media sosialisasi tentang isu-isu perempuan, namun dalam kenyataannya seringkali menguatkan nilai-nilai patriarkhi yang menyudutkan perempuan. 

Pilihan-pilihan media mengenai apa yang layak dan tidak serta keputusan mempublikasikan kutipan dari orang-orang yang dianggap kredibel mampu merugikan kelompok yang tersubordinat dengan membuat mereka terbuang, berbeda dan menyimpang (O’Saughnessy, 2006:155). Bentuk subordinasi tersebut terlihat nyata dalam pemberitaan media tentang perempuan termarjinalkan yang berstatus janda (Dian Permata Sari, 2017). 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006:21) janda berarti wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Berdasarkan data (BPS 2018) tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7% perempuan sebagai kepala keluarga. Menurut Yayasan PEKKA, janda adalah perempuan kepala keluarga yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Yayasan PEKKA pada awal tahun 2021 di 13 Kabupaten 7 Provinsi menemukan alasan perempuan melakukan gugatan cerai. Alasan terbanyak disebabkan suami yang berselingkuh/ menikah lagi, kemudian diikuti alasan suami tidak memberi nafkah selama perkawinan, suami pergi tanpa kabar dan suami melakukan kekerasan fisik. 

Berdasarkan pertimbangan di atas, dengan melihat tujuan dan kemanfaatannya, maka kami:

1.      Mendesak Dewan Pers segera melakukan tindakan tegas dengan memberikan surat teguran terhadap media cetak dan elektronik khususnya media Daring yang menuliskan judul dan isi berita yang menimbulkan persepsi negatif terhadap janda, tidak berimbang, tidak sensitif terhadap perempuan dan mementingkan keuntungan perusahaan.

2.      Mendesak seluruh media cetak dan elektronik untuk menggunakan kata “janda” dalam tendensi positif atau jika tidak mengganti kata janda dengan frasa Perempuan Kepala Keluarga.

3.      Mendesak Media Daring yang selama ini menggunakan kata janda sebagai Judul untuk segera mengganti judul artikel dengan narasi yang adil gender dan tidak menyudutkan perempuan marjinal khususnya janda. 

Jakarta, 9 September 2021

Nani Zuminarni

Pendiri dan Ketua Yayasan PEKKA

0 telah menandatangani. Mari kita ke 5.000.
Dengan 5.000 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin untuk diliput oleh media lokal!