Stop Reklamasi di Pantai Malalayang II Kota Manado

Stop Reklamasi di Pantai Malalayang II Kota Manado
Alasan pentingnya petisi ini
Pemerintah Provinsi Sulut, Stop Beri Izin Reklamasi di Pantai Malalayang II, Selamatkan Kehidupan Nelayan Tradisional Kota Manado!
Hai.. Perkenalkan, saya Findamorina Muhtar. selama 15 tahun ini, saya berprofesi sebagai jurnalis asal Kota Manado, Sulawesi Utara.
Sejak tahun 2015, saya merasa sedih karena masyarakat Kota Manado semakin sulit menikmati pasir dan mandi di pesisir pantai Malalayang seperti dulu.
Bayangkan, untuk mandi pantai, warga Manado sekarang harus ke kabupaten dan kota yang lain, seperti ke Likupang, Kabupaten Minahasa Utara yang menempuh waktu 1,5 jam dari Manado, atau ke Kota Bitung yang menempuh perjalanan 40 menit, ke Kabupaten Bolmong Timur, yang butuh 5 jam untuk tiba, juga daerah lainnya yang masih memiliki pesisir pantai.
Kota Manado yang memiliki panjang garis pantai sekitar 18,7 kilometer, terancam tinggal kenangan, berganti timbunan batu dan material pasir dimana-mana.
Tapi, urusan kami mandi pantai itu rupanya tidak seberapa dibanding apa yang dirasakan para nelayan tradisional di Kota Manado serta ancaman bencana alam yang sudah di depan mata penduduk Kota Manado.
Juni 2021 lalu, saya bertemu Rignolda Djamaludin, Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (Antra). Ia banyak menceritakan tentang nasib para nelayan tradisional di Kota Manado yang sedang berjuang merebut kembali kedaulatan nelayan atas sumber daya pesisir dan laut.
Perjuangan itu dilakukan di tengah gencarnya pembangunan Kota Manado melakukan reklamasi pantai untuk dijadikan kawasan bisnis. Dari pesisir pantai Kota Manado sebelah selatan memanjang ke utara, telah dibangun deretan mall, hotel, restoran dan sebagainya. Kawasan hutan mangrove di Desa Bahowo Kelurahan Tongkaina Kecamatan Bunaken dan Pantai Malalayang II di Kecamatan Malalayang adalah yang tersisa, dari belasan kilometer itu.
Nelayan tradisional di Manado terus terancam kehidupannya karena akses melaut semakin ditutup, sejak Pemerintah Kota Manado menerapkan pembangunan dengan konsep Water Front City tahun 1990-an dan memulai reklamasi pantai sejak 1995.
Sayangnya, Rignolda tidak bisa berbuat banyak melihat nelayan Manado beralih profesi. Proses reklamasi pantai, menggusur kehidupan nelayan yang hidup dan melaut di pesisir Kota Manado.
Padahal, penurunan jumlah nelayan akan sangat berpengaruh terhadap pasokan ikan di sejumlah pasar di Kota Manado.
Kepada saya, Rignolda menceritakan, lahan terbuka pantai yang tersisa di Kota Manado yaitu di Daseng, yang kini menjadi lokasi sekretariat Antra.
Panjang pesisirnya pun tak seberapa. Hanya sekitar 200 meter. Itupun berada di balik gedung-gedung tinggi sebuah perguruan tinggi negeri.
“Untuk mempertahankan lahan ini, sempat terjadi konflik. Ada darah dan air mata di sini agar nelayan tidak kehilangan tempat berlabuh perahu. Akhirnya kami dapat persetujuan dari hasil mediasi dengan Komnas HAM dan area ini jadi lahan terbuka pantai,” ujar Rignolda.
Yang tersisa bagi mereka adalah kedaulatan di Pantai Malalayang II yang kini juga akan ikut direklamasi.
Melalui petisi ini saya mengajak masyarakat agar mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk menghentikan pemberian izin terhadap pihak swasta yang akan melakukan reklamasi di Pantai Malalayang II.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memegang kendali untuk menghentikan aktivitas reklamasi di Pantai Malalayang II dan menghentikan izin para pengusaha untuk menimbun laut kita.
Kenapa petisi ini penting dan masyarakat harus menolak reklamasi di Pantai Malalayang II?
Pertama, menjaga hak asasi manusia
Hak akses ke pantai untuk nelayan jelas dilindungi Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Pada pasal 25 ayat 5 dijelaskan tentang penetapan zonasi oleh pemerintah wajib dilakukan dengan memberikan ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudi daya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Dan peminggiran kehidupan nelayan merupakan bentuk perampasan hak asasi.
Kedua, menjaga habitat mangrove untuk mengurangi dampak tsunami
Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengindentifikasi 19 wilayah Indonesia terindikasi rawan terhadap gelombang tsunami, termasuk Sulawesi Utara (Manado, Bitung, Sangihe, dan Talaud).
Data yang sama disampaikan Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Dimana, letak geografis Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) daerah paling rawan musibah bencana alam gempa bumi tektonik maupun tsunami. Karena daerah berada pada posisi dikelilingi lima lempeng dan empat daerah patahan.
Lima lempeng itu, Pasifik, Laut Maluku, Halmahera, Sangihe dan Lempeng Eurasia. Sedangkan empat patahan, yakni patahan Gorontalo, Amurang, Bolaang Mongondow dan patahan Manado.
Olehnya, vegetasi pohon bakau atau mangrove di pesisir pantai sangat dibutuhkan karena efektif mereduksi tinggi gelombang tsunami.
Tumbuhan mangrove adalah salah satu jenis tumbuhan yang memiliki akar kokoh, sehingga dapat meredam gelombang, badai dan tsunami.
"Mangrove berfungsi sebagai barrier ketika ada tsunami dan penghambat abrasi pantai. Hal ini sudah terbukti, ketika ada Tsunami, pantai yang mangrovenya bagus, kerusakannya sedikit,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK), Alue Dohong, pada Oktober 2022.
--------
Dukung petisi ini ya kawan-kawan. Jika kampanye kita berhasil, maka kita dapat membantu menyelamatkan kehidupan nelayan tradisional Kota Manado yang kini sudah semakin terpinggirkan serta menjaga Manado dari dampak buruk bencana tsunami.
Salam
Findamorina Muhtar
Pengambil Keputusan
- Gubernur Sulawesi Utara Olly DondokambeyKantor Gubernur Sulawesi Utara