Stop Razia Buku

Stop Razia Buku

Buku merupakan jendela dunia. Membaca buku, buku apa saja tidak perlu dilarang, bagaimana bisa mengambil kesimpulan tanpa adanya pengetahuan? Dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada diperlukan adanya nalar intelektual, nalar intelektual dibangun melalui cara yaitu membaca buku.
Maraknya razia dan sweeping buku-buku kiri (Contoh: Marxisme / Leninisme) yang terjadi akhir-akhir ini merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia itu sendiri dan juga melanggar undang-undang yang berlaku di negara ini, bukan berarti membaca buku tersebut lantas menjadikan pembaca sebagai Komunis. Peraziaan buku merupakan suatu bentuk upaya untuk mengkerdilkan nalar intelektual nan kritis bagi masyarakat.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan minat baca terendah berdasarkan studi Most Litterate Nation dengan menduduki posisi ke 60 dari 61 negara yang ada. Bagaimana menumbuhkan minat baca jika buku-buku pun dirazia dan dibatasi?
Razia buku tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 yang mencabut UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
Penyitaan buku bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum jikalau memiliki surat perintah tertulis dari kekuasaan yang sah, sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penyitaan barang-barang cetakan itu sendiri bertentangan pula dengan Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal itu berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan tanpa proses pengadilan, merupakan suatu tindakan yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Hal tersebut juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Apabila sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, maka penyitaan buku tidak melanggar HAM, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Tindak tegas siapapun yang tidak sesuai, bertentangan dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.
Tanpa sebuah buku apa jadinya nalar intelektual kita? Tanpa sebuah buku apakah kita bisa memahami setiap permasalahan yang ada? Tanpa sebuah buku jendela dunia ini akan tertutup. Dengan memenjarakan kemerdekaan masyarakat dalam membaca melalui razia-razia buku merupakan upaya yang salah. Jangan jadikan buku sebagai arena pertarungan politik dan ideologi di negeri ini.
#stopraziabuku #tolakraziabuku