Jangan Rampas Hak-Hak Mahasiswa; Prof. Husni Sterilkan Unram dari Kejahatan Sosial-Ekonomi

Jangan Rampas Hak-Hak Mahasiswa; Prof. Husni Sterilkan Unram dari Kejahatan Sosial-Ekonomi
Alasan pentingnya petisi ini

Menjadi lembaga pendidikan tinggi berbasis riset berdaya saing internasional tahun 2025, hal inilah yang coba dituju oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Universitas Mataram (Unram) dewasa ini, hingga membuat Rektor Unram Prof. Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., mesti berpikir keras dalam mengawal tujuan tersebut. Tak peduli pada visi tersebut terkandung upaya pelacuran PTN ke swasta dan asing.
Betapa tidak, dalam misi Unram, poin ke-4, "Membangun jaringan kerjasama yang luas dengan berbagai pihak, instansi pemerintah dan swasta, di dalam dan di luar negeri dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berstandar mutu nasional dan internasional." hal ini menjadi dasar pembenar, PTN melakukan kapitalisasi dan liberalisasi.
Sehingga Prof. Husni dilantik sejak 7 Maret 2018 untuk masa bhakti 2018-2022, menjelang 1 tahun kepemimpinannya tentu visi-misi rektor pun belum mampu diwujudkan secara optimal. Pasalnya, semakin intens dilakukan usaha-usaha sesuai misi untuk mencapai visi itu, maka akan tambah banyak ketidakbaikan yang didapatkan mahasiswa Unram yang mendorong mahasiswa-mahasiswa memberikan kritikan atas dasar cinta kasihnya kepada seorang pemimpin.
Di awal tahun kepemimpinannya, Mantan Dekan Fakultas Hukum (FH) Unram ini menemui banyak sekali suara-suara sumbang mahasiswa-mahasiswi; berisi keinginan besar mendapatkan perbaikan harkat dan martabatnya akibat diperkosa oleh sistem pendidikan tinggi yang sejak lahir berorientasi komersial (diksi ini sudah tak asing di telinga Bapak Husni, apalagi ketika disandingkan dengan poin ke-4 misi Unram--lengkap sudah penderitaan mamahasiswamu).
Seperti ta'i ayam hangat tersentuh tanah, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 37 tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT), hasil pembaruan Permenristekdikti No. 39 tahun 2016, yang sebelumnya No. 22 tahun 2015, dan berasal dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 tahun 2013 dan Permendikbud No. 73 tahun 2014. Digunjing habis-habisan oleh para mahasiswa di 9 fakultas yang ada di Unram, selalu saja aturan tersebut jadi sindrom yang menimbulkan pesimisme berpendidikan tinggi.
Penderitaan mahasiswa saat ini, secara historis, memang berasal dari keteledoran masa lalu. Sejak keluarnya UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan pendirian organisasi perdagangan internasional (WTO), menjadi awal mula pendidikan kita diperdagangkan yang ditegaskan dengan pasal dalam perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services)--pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor jasa yang diperdagangkan.
Akibat buruk dari kesepakatan GATS juga telah memengaruhi berbagai produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan. Begitulah tercermin dalam PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, yang memelopori semangat otonomisasi hingga mencoba mengurangi tanggung jawab negara atas pendidikan. Lalu, pada tahun 2007, pemerintah dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan dan kapitalisasi modal, telah menetapkan pendidikan sebagai bagian dari paket kebijakan liberalisasi. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2007, pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Satu-satunya syarat adalah bahwa pihak luar terbatas hanya dapat menanamkan modal sebesar 49 persen.
Selain itu, munculnya UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan juga masih memiliki semangat liberalisasi pendidikan yang bisa menghilangkan tanggung jawab negara mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas. Tidak bertahan lama, UU No. 9 tahun 2009 kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak mampu membendung arus kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan. Pasalnya muncul kembali UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang lagi-lagi masih mengusung konsep semi liberalisasi pendidikan, karena padanya mampu dipenetrasi oleh pasar. Sehingga dalam pelaksanaannya membuka keran untuk terterjadi pendistorsian.
Padahal, jika ditinjau secara yuridis landasan hukum yang digunakan oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam membuat Permenristekdikti adalah UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Yang digunakan sebagai dasar penyusunan BKT ialah Pasal 88 ayat (1), “Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan: a. capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis Program Studi; dan c. indeks kemahalan wilayah.” Sedangkan yang digunakan sebagai dasar penyusunan UKT adalah Pasal 88 ayat 3-4, “Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa sebagaimana maksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.”
Pasal-pasal itu pulalah yang dijadikan dasar penyusunan Permendikbud No. 55 tahun 2013, No. 39 tahun 2016 serta No. 73 tahun 2014. Dan oleh karenanya, jika Kemeritekdikti konsisten dengan bunyi-bunyi pasal tersebut, sebagai ruh pembuatan Permeritekdikti No. 22 tahun 2015, No. 39 tahun 2016, kemudian diperbaharui menjadi No. 37 tahun 2017. Maka, dalam aturan terbarunya, sistem UKT yang digadang sebagai sistem pembayaran kuliah berkeadilan, harus dapat mengangkat martabat mahasiswa. Bukan malah menghilangkan tanggung jawab pemerintah--terus dilakukan salah satunya dengan menggunakan sistem UKT, berekses pada penghardikan mahasiswa secara sistemik.
Kini anggapan UKT sebagai sistem pembayaran biaya pendidikan yang berkeadilan pada akhirnya hanya menjadi ilusi karena tanggung jawab memberikan pendidikan untuk setiap warga negara Indonesia dilimpahkan kepada masyarakat, lewat konsep subsidi silang. Di mana setiap tahunnya semakin meningkat seenak jidad kepada mahasiswa. Yang jika dibandingkan dengan sistem SPP meski tiap mahasiswa dalam hal pembayaran biaya pendidikannya dipikul rata, sungguh mekanisme tersebut tergolong mampu memberikan kedamaian daripada UKT. Betapa tidak, di tengah berbagai keterbatasan sosial-ekonomi, apakah masih tersisah secercah keadilan bila mana mahasiswa Fakultas Hukum, Ekonomi, Pertanian, Fisipol, Pertanian, Fatepa, Tehnik, FKIP, apalagi dari Fakultas Kedokteran Unram, hari ini menjerit kesakitan perihal mahalnya biaya kuliah akibat UKT?
Tak peduli Nusa Tenggara Barat (NTB) baru-baru ini dihantam gempa yang mengakibatkan menurunnya kualitas kesejahteraan sosial-ekonomi penduduk. Unram, berdasar pengakuan banyak mahasiswa masih tetap menaikan UKT dengan mengubah grade mahasiswa dari 1 ke 2 atau 1-3. Entah apa yang terjadi, mahasiswa baru pun seperti dikibuli. Mereka yang semula mendapat grade 1 tiba-tiba secara tiba-tiba disulap ke grade 2 atau 3. Sementara untuk menurunkan grade begitu sulit karena terhambat administrasi--seperti sengaja ijadikan perisai PTN untuk menangkal usaha-usaha penurunan UKT.
Hingga kini mahasiswa ataupun orang tuanya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana prosedur penentuan golongan UKT, hanya lewat besaran gaji orang tua dan banyaknya tanggungan keluarga. Komponen itu pun sumbernya bukan dari Unram tetapi dari sumber lain. Selain itu, mahasiswa ataupun orang tua mahasiswa tidak pernah tahu bagaimana persebaran jumlah mahasiswa tiap golongannya, apakah golongan 1 dan 2 sudah terpenuhi masing-masing 5% sesuai Permenristekdikti No. 37 tahun 2017 atau tidak sehingga ini sangat merisaukan. Dan penyebabnya adalah sikap ekslisif dari birokrasi kampus sendiri.
Tak henti sampai di situ, usaha-usaha pengeksploitasian mahasiswa Unram bukan hanya pada UKT tetapi menjelang wisuda pun masih tetap diekploitasi. Ketika mahasiswa berada pada masa pra-yudisium, saat men-translite abstrak pada skripsi mereka dikenakan uang sebesar Rp. 30 ribu dari pihak kampus. Bukankah ini sebuah pungutan liar? Yang tentu dalam kaca mata UKT; tidak boleh ada pungutan-pungutan kepada mahasiswa selain daripada uang pangkal.
Apakah boleh pihak kampus menarik biaya tanpa ada dasar hukumnya? Dan dasar hukum seperti apa yang bisa menjadi landasan pungutan-pungutan itu? Pada dasarnya seluruh tindakan pejabat kampus ialah tindakan pejabat publik/pejabat tata usaha negara/pejabat administrasi. Sebab kampus merupakan institusi publik atau kepanjangan tangan negara dalam penyelenggaraan urusan pendidikan tinggi. Oleh karenanya diikat dengan hukum administrasi negara yang syarat akan asas. Salah satu asas yang harus menjadi pegangan bagi pejabat Unram ialah asas legalitas sebagai syarat yang menyatakan, bahwa tidak satu perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain yang dimaksud di atas, perbuatan pejabat kampus (termasuk pungutan) juga mesti berlandas pada asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal 3 angka 1 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dsn Nepotisme (KKN), yang mengharuskan setiap kebijakan penyelenggaraan negara mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan. Tetapi, saking parahnya usaha-usaha komersialisasi pendidikan di Unram, bahkan hanha untuk membuat kartu perpustakaan di beberapa fakultas masih dikenakan biaya, yanh tentunya sungguh tidak seirama dengan aturan, dan sangat mencederai sistem penyelenggaraan negara tanpa KKN.
Apalagi simultan dengan berlakunya UKT menjadi lampu hijau masuknya Sumbangan Pengembangan Institut (SPI), yang menikam hanya pada mahasiswa jalur mandiri tanpa pandang bulu--kaya-miskin tetap kena berdasar pada nominal bayaran dari fakultas masing-masing. Paling banter, SPI dijadikan parsyarat mahasiswa jalur mandiri dapat berkuliah. Sebab, sewalaupun telah lulus tes, dan apabila tidak bayar SPI maka tak diijinkan untuk mengikuti perkuliahan.
Hal itu pun menyiratkan bahwa sekarang di dalam dunia PTN telah berlaku yang namanya pameo "Orang Miskin Dilarang Kuliah". Yang berujung munculnya tindakan diskriminatif dan pengkasta'an ala feodal " Si Kaya dan Si Miskin" di bidang pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sendainya Rektor Prof. Husni, yang kami kenal sebagai pemimpin di Unram melayani dan merawat mahasiswa dengan ketulusan seperti para suster, boleh jadi mahasiswa-mahasiswa Unram akan mengecap harumnya kembang pendidikan. Mahasiswa akan tersenyum karena jabatanmu dijalankan tanpa pamrih, hingga kami tidak menganggap bahwa Anda menjadi rektor di kebun mawar kekuasaan.
Pak Husni, jika Anda berkomitmen menjalankan jabatan rektor di ladang anggur civitas akademik untuk tulus melayani. Maka, sekarang yang paling urgen, adalah bagaimana Anda melakukan transparansi atas segala anggaran yang masuk di Unram selama Anda menjabat. Agar semisal, UKT dan SPI tidak kami anggap uangnya telah diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu. Sebab selama ini yang paling banter di Unram adalah tidak adanya keterbukaan informasi publik sebagaimana diamanantkan oleh UU No. 14 tahun 2008. O yah, Anda lebih paham hal itu karena Anda Sarjana Hukum (SH).
Tetapi apabila karena kecerdasan Anda, hingga membuat Anda berhasil menemukan celah hukum untuk membantah UU No. 14 tahun 2018. Harapan civitas akademika, setidaknya anda mesti konsekuen dengan misi Unram poin ke-5, "Melaksanakan tata kelola aset keuangan dan administrasi yang memenuhi standar tata kelola Universitas yang baik, efesien, efektif, transparan dan akuntabel (good university govermance), dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berstandar mutu nasional dan internasional."
Dan juga, olehnya praktik liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi Pendidikan di Unram, yang secara ekplisit terjewantah dengan diberikannya ruang kepada pihak eksternal Unram untuk mengadakan acara pernikahan di Auditarium Unram dengan cara melakukan pembayaran (bisnis). Sebagai mahasiswa kami juga menuntut transparansi akan hal itu, setidaknya hal tuntutan ini sejalan dengan misi Unram Pak Prof.
Kemudian tolong perlihatkan kepada civitas akademika seberapa besar anggaran yang digunakan untuk mengaspal jalan Unram dan membangun gedung/prodi-prodi baru seperti; Fisipol, Gedung Kuliah Bersama (GKB), dst. dst.. Jangan sampai mahasiswa berpersepsi pembangunan-pembangunan itu bagai bentuk pencarian keuntungan bagi kampus, karena dengan perbaikan jalan dan pembukaan prodi baru akan ada mahasiswa baru yang tentunya memberikan dana tambahan kepada kampus. Hingga kami tidak menarik benang merah bahwa pembangunan-pembangunan tersebut bukan berdasarkan atas kebutuhan dan peningkatan kualitas melainkan sesuai dengan kebutuhan pasar.
Bapak Rektor Unram yang terhormat, sekelumit polemik di atas sebenarnya telah menegaskan, bahwa selama ini otonomi kampus dijadikan kedok untuk komersialisasi pendidikan. Alasan mengenai otonomi kampus akan membawa kemajuan untuk kampus dan mahasiswa nyata-nyatanya hanya isapan jempol belaka.
Unram layaknya perusahaan yang terus berorientasi pada keuntungan sedangkan kualitas pendidikan dijadikan prioritas yang ke sekian. Hal itu pun tergambarkan bagaimana pihak PTN, tidak mampu memberikan kepada para mahasiswa. Itu terbukti lewat hilangnya ratusan helm mahasiswa beberapa tahun belakangan ini. Ditambah sudah lebih dari 10 kali kehilangan motor di Unram, terakhir pada 1 Desember 2018 di FH Unram. Kehilangan tersebut pun bukan menjadi 50+1 tanggung jawab dari birokrasi kampus. Membuat mahasiswa berduka cita atas dekadensi moral dan terdistorinya iklim pembelajaran di kampus. Akhirnya suasana akademis di Unram menjelma jadi seperti di pasar yang selalu mementingkan keuntungan semata, dan tidak pada kualitasnya sebagai lembaga pendidikan negeri.
Jika dulu, untuk menjaga keamanan kampus diberlakukan pemiriksaan KTM, STNK, bahkan memberlakukan karcis masuk di beberapa fakultas. Dan sekarang hanya mengalkan cctv. Ini semua tidak mampu mengamankan kehidupan kampus. Hari ini yang perlu dilakukan adalah penambahan jumlah satpam. Tetapi apabila hal itu sudah dilakukan dan masih ada pencurian. Bisa jadi, ada oknum satpam yang mencuri atau berkomplot dengan pencuri. Maka tugas birokrasi kampus adalah mulailah menertibkan satpam dengan memberikannya pelatihan dan kesejahteraan.
Jika kampus masih hanya ingin meraup keuntungan seperti pasar, tanpa memerhatikan kebutuhan civitas akademik di sekelilingnya. Bisa jadi, esok hari bukan mahasiswa juga akan ikut mencuri sebab kewajiban kampus kepada mahasiswa tidak terpenuhi karena PTN sekarang telah terpenetrasi oleh kapitalisme yang membuatmya terliberalisasi hingga terkomersialisasi.
Atau mungkin apabila ke depan Unram tetap ingin mempertahankan keuntungannya, sehingga pelit sekali dalam memberikan pelatihan dan kesejahteraam kepada satpam. Sebaiknya segeralah membuat parkiran sentral, agar 9 fakultas atau beberapa fakultas yang kekurangan satpam bisa parkir di sana. Hal ini juga menjamin efisiensi dan efektifitas pengelolaan keungan Unram dan memudahkan pekerjaan personil satpan yang minim.
Baiklah Bapak Rektor, kembali lagi perlu ditegaskan bahwa engkau adalah pimpinan tertinggi di PTN Unram. Jika di masa lalu pemimpin kita ribut memperdebatkan gagasan. Sekarang kami tak ingin pemimpin kami ribut memperdebatkan kapital. Jika di masa lalu mereka mengukuhi prinsip memimpin itu menderita. Sekarang kami tak ingin ada pemimpin yang hanya sekedar berprinsip menikmati. Karena jika demikian adanya, pastilah ia bukan pemimpin tapi penguasa. Bedanya sederhana, pemimpin itu mendahulukan kepentingan umum dari pada diri dan kroni-kroninya. Tapi melihatmu kami masih tetap percaya bahwa engkau adalah pemimpin, bukan penguasa. Buktikanlah itu!!!
Kemudian, sebagai bentuk tanggung jawab moril menjadi mahasiswa Unram. Maka dengan ini kami mendesak Rektor Unram Prof. Husni, sbb:
1. Segera verifikasi ulang terhadap data UKT mahasiswa dengan turun langsung mengecek situasi dan kondisi mahasiswa dan orangtuanya dari dekat.
2. Lakukan pemberian grade pada SPI mahasiswa jalur mandiri.
3. Hentikan pungli di lingkungan Unram.
4. Stopkan usaha-usaha komersialisasi fasilitas pendidikan.
5. Perbanyak personil satpam dan berikan pelatihan serta perhatikan kesejahteraan mereka.
6. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, lakukan transparansi setiap dana-dana pendidikan yang keluar-masuk di Unram.
Berangkat dari pada narasi di atas, teman-teman mahasiswa, dampak dari pengejawantahan kebijakan neoliberalisme dalam bentuk berbagai peraturan tampaknya membuat kita lupa bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Institusi perguruan tinggi tidak lagi diharuskan untuk memenuhi prinsip aksesibilitas bagi setiap orang. Untuk mengatasi hal tersebut, mari kita sama-sama membangun gerakan yang dimulai dari penamdatanganan petisi ini. Jika tidak mampu mencairkan kebuntuan. Bung, ayo bung. Sama-sama kita lawan! Lakukan demonstrasi.
Mari kita tanamkan sebuah keyakinan, bahwa aksesibilitas terhadap pendidikan merupakan hak warga negara. Apabila Unram justru mempersulitnya, yakin dan percaya setiap jengkal biaya kuliah terus menerus naik. Mengingat uang yang kita dibayarkan ke pihak kampus menyaratkan pengelolaan pemenuhan hak pendidikan yang demokratis. Oleh karenanya, detik ini kita tidak boleh bungkam akan realitas tersebut.
Seperti apa yang dikatakan Wiji Tukul, "Buat apa punya Ilmu tinggi. Jika hanya untuk mengibuli. Buat apa banyak baca buku. Kalau mulut dibungkam melulu." Berangkat dari pada itu teman-teman mahasiswa. Marilah kita sama-suarakan kebenaran. "Karena kebenaran itak akan pernah mati dan terus berlipat ganda ... kuatkan barisan dan siap tuk melawan," dikutip dari sajak Wiji Tukul.