Selamatkan Indonesia, Bersama Lawan Oligarki

Selamatkan Indonesia, Bersama Lawan Oligarki

0 telah menandatangani. Mari kita ke 1.500.
Dengan 1.500 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin untuk diliput oleh media lokal!
Poros Anti Oligarki memulai petisi ini kepada RAKYAT INDONESIA

Ada keresahan yang cukup luas terhadap fenomena menguatnya oligarki dalam kehidupan politik di Indonesia. Tampilnya segelintir elit super-kaya yang pelan-pelan mendominasi dan menentukan segala macam kebijakan politik kita.

Fenomena itu berkelindan dengan beragam persoalan maha pelit yang membelit bangsa ini, seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ancaman kerusakan ekologi yang parah.

Prof Jeffrey Winters mencatat keterkaitan antara memburuknya praktek penegakan hukum dengan menguatnya oligarki. Supremasi hukum tertindih oleh dominasi orang kuat (oligark). Para oligark ini, yang sebagian besar kaya raya dari bisnis ekstraktif, menyiasati hukum untuk melanggengkan ekonomi rente, kapitalisme kroni, dan korupsi.

Hari ini, kita yang marah terhadap revisi UU KPK dan pembegalan KPK tentu tak sulit menangkap keterlibatan orang-orang super-kuat, baik secara langsung maupun lewat parpol, dalam proses tersebut.

Di lapangan ekonomi, segelintir juga menguasai beragam lapangan usaha. Seperti teramati oleh Nurhastuti K Wardhani, pengajar Universitas Trisakti, perbankan di Indonesia hanya dikuasai oleh 30 keluarga. Tentu saja, ada banyak lapangan usaha lain yang bernasib serupa.

Tentu saja, praktek penguasahaan lapangan usaha dan pasar oleh segelintir pemain itu berkontribusi pada melebarnya ketimpangan ekonomi. Seperti banyak diungkap oleh sejumlah lembaga (Credit Suisse, Oxfam, dan TNP2K), 1 persen orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan dan sumber daya nasional. Sementara 10 persen terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional.

Politik yang semakin oligarkis ini juga semakin demokratis. Ini terbaca dengan ruang partisipasi politik yang semakin menyempit. Titi Anggraini dari Perludem menyebut hadirnya semacam “multiple barriers to entry” dalam perpolitikan Indonesia. Persyaratan parpol peserta pemilu merupakan yang paling rumit dan termahal di dunia.

Setelah lolos sebagai peserta pemilu, parpol masih berhadapan rintangan untuk bisa mendudukkan wakilnya di DPR, yaitu parliamentary treshold. Dengan ambang batas yang semakin tinggi, makin sempit peluang parpol kecil dan parpol baru untuk masuk ke parlemen.

Ruang politik yang sempit ini kemudian hanya diisi oleh mereka yang punya uang atau sumber daya lain (birokrat dan keluarga elit).

Penyempitan ruang partisipasi politik juga terjadi pada ruang yang seharusnya menjamin hak-hak rakyat berekspresi dan menyampaikan pendapat. Ada pembubaran demonstran, penangkapan aktivis, dan kriminalisasi terhadap mereka yang kritis.

Akibatnya, ada banyak kebijakan politik, seperti revisi UU KPK, revisi UU Miberba, dan pengesahan UU Cipta Kerja, tak melibatkan dan tak mau mendengar suara rakyat banyak.

Menurut kami, kita tak bisa lagi berdiam atas perusakan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Segala keresahan dan kemarahan kita tak boleh menguap begitu saja, tetapi harus terartikulasi menjadi sebuah gagasan sekaligus gerakan bersama.

Karena itu, kami berseru:

Pertama, pembatasan atau limitasi rekrutmen politik dengan melarang kerabat dari pejabat yang sedang berkuasa untuk mencalonkan diri/menempati jabatan publik;

Kedua, pembatasan dan transparansi biaya kampanye parpol dari pihak ketiga, baik individu maupun badan usaha. Sebagai alternatifnya, kami mendorong pembiayaan parpol lewat APBN;

Ketiga, penghapusan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold karena telah menyempitkan ruang partisipasi politik;

Keempat, pembatalan semua produk legislasi yang merugikan kepentingan publik, seperti revisi UU KPK, UU nomor 3/2020 tentang Minerba, dan UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Kelima, mendukung penguatan masyarakat sipil dan pembangunan wadah politik alternatif;

Keenam, memperjuangkan sistem ekonomi dan politik baru yang lebih demokratis, menghargai HAM, lebih berkeadilan sosial, dan menghormati lingkungan.

Ketujuh, memandang perlu adanya sebuah konsolidasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil, untuk menghadapi dominasi oligarki.

Kedelapan, perlunya duduk bersama untuk menyusun sebuah UU yang semangatnya anti-oligarki, yang berbentuk Omnibus Law, untuk ditawarkan sebagai gagasan alternatif terhadap UU Cipta Kerja dan UU berbau neoliberal lainnya.

Kami yang tergabung dalam seruan ini:

1. Dr. Ujang Komarudin, M.Si
2. Nurhastuty K Wardhani, PhD
3. Titi Anggraeni - PERLUDEM
4. Poempida Hidayatulloh
5. Iwan Nurdin - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
6.Yayan Hidayat - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
7. Tata Khoiriyah - Eks Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
8. Gede Sandra - Universitas Bung Karno (UBK)
9. Agus Jabo Priyono - Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)
10. Dominggus Oktavianus - Sekretaris Jenderal PRIMA
11. Lukman Hakim - Wakil Ketua Umum PRIMA
12. AJ Susmana - Wakil Ketua Umum PRIMA
13. Mayjen TNI (Purn) Gautama Wiranegara - Ketua MPP PRIMA
14. Binbin Firman Tresnadi - Mahkamah Partai PRIMA 
15. Indarti - Pengurus DPP PRIMA
16. Siti Rubaidah - Ketua Umum Suluh Perempuan
17. Musdah Mulia - Pendiri Yayasan Mulia Raya
18. Garda Sembiring
19. Nursuhud - Anggota DPR RI (2009-2014)
20. Ahmad Rifai - Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (STN)
21. Syamsudin Saman - Wakil Ketua Umum EN LMND
22. Ma'ruf Asli Bhakti - Kornas Liga Eksponen 98
23. Nursyahbani Katjasungkana SH - Ketua Pembina YLBHI
24. Dolorosa Sinaga - Pematung, Dosen, Aktivis HAM dan pendiri Beranda Rakyat Garuda
25. Yayak Yatmaka - Perguruan Rakyat Merdeka
26. Jacobus K Mayong Padang - Ketua Umum Institut Marhaen
27. Arahmaiani - Perupa, penulis dan aktivis lingkungan hidup
28. Romo Yohanes Ghani, CM. - Rohaniawan
29. Dewi Nova, Penulis & Penyair
30. Teddy Wibisana
31. Bivitri Susanti - Dosen STHI Jentera

0 telah menandatangani. Mari kita ke 1.500.
Dengan 1.500 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin untuk diliput oleh media lokal!