Hari HAM; RAKYAT MENGAJUKAN PROTES

Hari HAM; RAKYAT MENGAJUKAN PROTES

0 telah menandatangani. Mari kita ke 50.
Dengan 50 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin ditampilkan di halaman rekomendasi!
Maluku Bersuara memulai petisi ini kepada Presiden RI dan

Pada tanggal 10 Desember nanti, di seantero dunia akan memperingati Hari HAM Internasional yang berkaitan dengan Deklarasi Universal HAM yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Ini merupakan pernyataan global yang pertama mengenai HAM yang tidak dapat dipungkiri.

Deklarasi itu menyatakan bahwa setiap manusia berhak untuk memutuskan bagaimana dan di mana menjalani hidupnya; mengutarakan pendapat; menyembah tuhan pilihannya sendiri, atau tidak sama sekali; diperlakukan setara dengan rekan-rekannya di hadapan pengadilan; berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan suaranya didengar dalam hal-hal mengenai masyarakat, negara dan masa depan bersama.

Masyarakat juga akan bersuara, menuntut hak asasi atas perampasan ruang hidup dan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang merusak lingkungan hidup di daerah mereka bermukim.

Perihal itu, masih segar dalam ingatan kita, banyak insiden-insiden tragis yang tak kunjung selesai di Republik ini. Semisal kematian Munir, Salim Kancil, bahkan beragam peristiwa lain yang belakangan terjadi di hampir semua daerah di Indonesia.

Sebut saja Maluku, perampasan ruang hidup masyarakat adat di mana-mana. Penggusuran hutan adat, terobosan hak ulayat oleh para korporasi, pengrusakan hutan tanpa reboisasi dan sederet masalah lainnya yang tak dapat diselesaikan.

Hari ini, pulau Seram tak lagi seram. Pulau Seram tak lagi perawan, para korporasi telah bersekongkol dengan elit-elit kita dan merobek-robeknya.

Berikut tiga puisi yang Beta [A. Alzubaidy] tuliskan sebagai bentuk perlawanan untuk tanah yang menghidupkan dan membesarkan kita;

[1]

Hidup Adalah Jalan Perlawanan;

Hutan-hutan ditebang, lahan-lahan digusur, rakyat direlokasi atasnama alasan-alasan konyol adalah jalan masuk para cukong. Sungguh sayang, kita hanyalah orang-orang yang dipaksakan dengan kehidupan moderen.

Tuan, kami tidak alergi pada kehidupan modern, tapi jauh lebih berarti kehidupan tradisional yang terpelihara baik menjadi petua yang hidup dan takkan mati. Itu warisan tetua yang abadi.

Perihal hidup, adalah jalan perlawan untuk mempertahankan jati diri sebagai rakyat yang hidup di atas tanah adat.

Jangan!

Jangan paksakan kami untuk menjadi orang-orang modern yang kelak melupakan di mana tempat awal kami datang.

Jangan!

Jangan rampas kehidupan kami, di sini nasib anak-anak negeri ini kami pertaruhkan. Pendidikan yang berkualitas, kesehatan, dan segala kebutuhan adalah tanggungjawab negara yang harus ditunaikan.

Jln. Tamaela — Bula, 23 November 2018

[2]

Kita Kehilangan Hutan

Sejenak lama, hutan-hutan kita adalah kehidupan-kehidupan; Kehidupan bagi rusa-rusa, burung-burung, babi, bahkan manusia. Semua ciptaan ada di sini, bertahan pada habitatnya untuk melangsungkan hidup yang panjang.

Di sepanjang jalan yang dilalui petani-petani, pepohonan tumbuh subur tanpa pupuk. Beberapa jenis buah-buahan tumbuh tanpa ditanam, melainkan dibawa burung-burung lalu berkembangbiak dengan buah yang lebat.

Sungguh, di tanah kita yang subur. Jaminan kehidupan yang panjang bagi anak-anak manusia dan binatang-binatang di kaki langit biru.

Perlahan dibuka jalan-jalan, rakyat dibujuk melihat aspal kering. Pohon-pohon ditebang tanpa menimbang-nimbang. Satu pohon jatuh, dua pohon jatuh, tiga dan empat pohon jatuh hingga ludes.

Kawan, kita adalah pemilik dan pewaris atas tanah yang kita tinggali. Jangan dengarkan bujukan setan-setan kota, jangan pula menukar dengan handphone-handphone bekas dari konter. Apalagi menjualnya dengan harga murah.

Ini tanah kita, tanah ulayat yang beradat. Kau lupa pada petua tetua dahulu, atau mungkin berpura-pura tak tahu sama sekali. Kehidupan mereka dahulu adalah kehidupan adik dan kakak, memberi tanpa berharap balas kasih — tanah masih dikasih cuma-cuma tanpa rupiah.

Tapi apa?, hutan rimba sudah ditebang, jalan sudah terbuka lebar walau hanya kerikil-kerikil besar tanpa aspal kering yang dibujuk itu. Sekarang akses dari semua titik sudah tertuju ke sini, orang-orang ramai datang menjumpai kita.

Setelah itu, masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang akan kita hadapi, tangguh saja besok atau lusa — barangkali kita kehilangan segalanya.

Bula — Maluku, 31 Agustus 2018

[3]

Kita Hanya Dipaksa

Siapa yang menghindari kemajuan?, semua orang akan ada pada kehidupan itu. Tak berharap memiliki rumah mewah dan mobil avanza untuk bersanding dengan para pejabat yang korup. Memiliki rumah yang sederhana dengan dipenuhi aroma cinta, itu sudah lebih dari cukup bagi orang-orang yang hidup di perkampungan seperti ini.

Sebetulnya, kita hanya dipaksa untuk hidup modern mengikuti orang-orang di perkotaan. Padahal kita bekerja banting tulang lalu pulang pada petang, adalah kebiasaan-kebiasaan menyambung kehidupan.

Bagi sebagian orang — mereka adalah jembatan-jembatan bagi para investor. Memediasi memuluskan keinginan-keinginan pemodal lalu diberi imbalan.

Siapa mereka?, bukankah para pemangku kebijakan kita yang brengsek itu. Mereka dengan senang hati menukar tanda tangan basah untuk mendapatkan lembaran rupiah dan dolar. Belum lagi diberi bonus mobil mewah untuk mengantar anak-anak dan para istri muda berkeliling kota. Dibalik kesenangan itu, tertutup penderitaan banyak orang di sana.

Kita adalah kelompok orang-orang yang terus dipaksa. Sesudah dipaksakan turun dari gunung-gunung sebagai tempat awal kedatangan. Di pesisir, kita kembali dipaksa untuk meninggalkan tempat yang menjadi rahim kehidupan bagi anak-anak.

Pohon-pohon ditebang, rumah digusur, orang-orang kehilangan mata pencaharian. Untuk apa?, tiba-tiba tikus-tikus kampung berpura-pura kota itu datang membisik warga; negeri ini akan sejahtera, perputaran ekonomi masyarakat akan membaik.

Sudah begitu, mereka bersepakat di hadapan botol-botol alkohol dan perempuan-perempuan seksi. Lalu merekayasa memberitakan di surat-surat kabar dan televisi, bahwa anak-anak kita sedang menderita penyakit busung lapar.

Katakan pada mereka, sampai kapan pun kita tak akan kehabisan bahan pangan. Selama pohon-pohon sagu masih berdiri kokoh, umbi-umbian masih menjalar, pun ikan-ikan bebas berenang dari tanjung-tanjung. Selama itu pula, kehidupan masih terus berlangsung.

Jangan!, jangan paksakan kami untuk meninggalkan rumah. Di sini aroma cengkeh dan bunga pala masih membuat kami betah, biarkan kami menikmati hingga terwariskan kepada anak-cucu kami kelak.

Bula, 30 Agustus 2018

Kawan-kawan, hidup ini adalah jalan perlawanan. Pantaslah kita menjadi orang-orang yang melawan kemunafikan dan kesewenang-wenangan.

0 telah menandatangani. Mari kita ke 50.
Dengan 50 tanda tangan, petisi ini akan lebih mungkin ditampilkan di halaman rekomendasi!