Berantas Mafia Regulasi dan Monopoli, Dukung Pengesahan UU Omnibus Law

Berantas Mafia Regulasi dan Monopoli, Dukung Pengesahan UU Omnibus Law

Perbaikan iklim investasi memang menjadi fokus utama Presiden Joko Widodo saat ini. Sehingga perlu untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undang yang dirasa menghambat investasi. Hal ini telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, sebagaimana diberitakan di beberapa media daring.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah sedang membuat sebuah rancangan Omnibus Law. Omnibus Law ini diharapkan dapat mengatasi sekitar 74 Undang-undang (UU) yang sudah dianggap usang dan tidak relevan lagi untuk saat ini. Malah beberapa undang-undang lahir di zaman kolonial Belanda, sehingga menjadi penghambat investasi yang berupa penanaman modal langsung. Saat ini rancangan Omnibus Law tersebut digodok oleh Pemerintah dalam bentuk RUU Perizinan Investasi.
Disamping itu, Omnibus Law itu adalah sebuah legacy dari Presiden Jokowi untuk Indonesia. Salah satu item RUU Omnibus, adalah Bank Tanah Rakyat. Tanah-tanah yang dikuasai konglomerat yang telah habis masa berlakunya wajib dikembalikan ke negara. Lalu sebagian akan didistribusikan ke rakyat. Land reform adalah kebijakan paling ambisius dari RUU ini, dimana tidak pernah ada yang berani melakukan. Isu itu sudah mnjadi isu lama, sejak jaman kemerdekaan sampai sekarang. Namun, Presiden Jokowi baru berani mengambil langkah untuk mewujudkan hal itu.
Artinya adalah RUU OBL ini bukan hanya persoalan ketenga-kerjaan ataupun perampingan Regulasi yang biasanya dijadikan bancakan oleh Oknum Pejabat dan Mafia yang selama ini menikmati keribetan aturan dalam membuka usaha, namun juga untuk mengembalikan harta kekayaan yang selama ini dikuasai oleh cukong Oligarkhi, dimana pada saat ini (mereka) sedang memanfaatkan emosi buruh melalui isu ketenagakerjaan dan lingkungan hidup untuk membatalkan RUU Omnibus Law tersebut. Padahal sejatinya, para Mafia tidak ingin kekuasaan dan zona nyaman mereka terganggu sehingga harta kekayaan serta keoligarkhian mereka tetap bisa menguasai Negara Indonesia.