Kurangnya Penegakan Hukum bagi Kasus Pelecehan Seksual

Kurangnya Penegakan Hukum bagi Kasus Pelecehan Seksual
Alasan pentingnya petisi ini
Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan mulai terkuak satu per satu. Namun, beberapa kasus di selesaikan secara non legalitas atau tanpa melewati jalur peradilan.
Salah satu contoh, tindak pelecehan seksual yang harus berakhir secara damai adalah kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswi Univeristas Gadjah Mada (UGM) saat menjalani program kuliah kerja nyata (KKN). Dalam permasalahan ini, pelaku hanya dituntut untuk menjalani mandatory counseling dengan psikolog. Sementara korban diwajibkan mengikuti psikolog klinis sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menanganinya.
Pada 2013, kasus kekerasan di institusi pendidikan juga terjadi pada RW, mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Depok, Jawa Barat. Dia diduga diperkosa hingga hamil oleh sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Budaya ketika RW sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. Hingga saat ini pun, proses kasus tersebut tidak kunjung usai.
Komisioner Komnas Perempuan, Nurherawati, mengatakan, kasus kekerasan seksual yang begitu marak itu menandakan bahwa penanganan hukum untuk tindak pelecehan seksual masih sangat lemah. Bahkan sering dinilai membelit dan tidak adil bagi korban.
Aparat penegak hukum seakan tidak memahami situasi korban. Bahkan, hal terebut terlihat jelas dari proses berita acara pemeriksaan yang tidak kunjung selesai. Penegakkan hukum terhadap kasus pelecehan seksual sangat lemah, bahkan justru membelit korbannya. Substansi hukum dari materi pidana hingga hukum acara yang menghambat akses keadilan korban hingga struktur aparat penegak hukum yang belum memahami situai dan kondisi korban.
Pelecehan seksual pun dapat dikategorikan ke dalam dua tipe, ada yang tidak kontak tubuh dan ada yang kontak tubuh. Yang tidak kontak tubuh itu seperti siulan menggoda atau tindakan menggoda dengan melecehkan, mengirim foto yang mengeksploitasi tubuh perempuan, gambar serta komentar.
Sementara itu, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang pesat. Mulai dari ekploitasi seksual, penyiksaan seksual, perdagangan orang untuk tujuan seksual, serta pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi. Bahkan, kini ada kekerasan seksual berbasis online.
Dengan tidak adanya hukum, korban akan susah menuntut kedilan. Efeknya korban tidak bisa mengklaim keadilan. Korban juga tidak bisa mendapatkan akses keadilan. Saat ini ketika korban akan menuntut Keadilan menggunakan sistem hukum, maka dia akan berhadapan dengan sitem peradilan yang tidak ramah terhadap korbannya. Sebab, UU KUHP masih berorientasi pada perlindungan tersangka, belum berorentasi pada perlindungan terhadap korban.
Dalam UU KUHP, lima bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. RUU ini juga bisa memberikan bantuan pemulihan kepada penyintas, sehingga terhindar dari dampak serius dan trauma sepanjang hidup mereka.
Korban membutuhkan pemulihan, membutuhkan tindakan cepat untuk pemulihan fisik, psikologi, dan psikososial yang tidak ada jaminan ketika menjadi korban kekerasan seksual dia akan pulih.
Belum lama ini, Komisi VIII DPR mengusulkan untuk menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari perogram legalitas nasional (prolegnas) Prioritas 2020. Membuat rancangan UU yang tepat untuk permasalahan kekerasan seksual ini memang sulit. Alasannya karena kita masih menunggu penyelesaian RUU kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Jalan panjang RUU PKS juga terhambat soal pembahasan judul dan definisi kekerasan seksual, serta pemidanaan. Hingga kini, anggota dewan belum satu suara tentang judul dan definisi kekerasan seksual yang tertuang dalam draf RUU PKS