DPR dan Pemerintah, Jangan Intervensi Penanganan Kasus dr. Terawan!

DPR dan Pemerintah, Jangan Intervensi Penanganan Kasus dr. Terawan!

398 telah menandatangani. Mari kita ke 500.
Dimulai

Alasan pentingnya petisi ini

Dimulai oleh HPS ISMKI

Akhir-akhir ini, dunia kedokteran sedang heboh dengan pemecatan dr. Terawan. Teman-teman sudah dengar beritanya, belum?


Jadi kronologinya, keputusan pemecatan Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) oleh IDI sudah digaungkan sejak 2018 lalu. Loh, kenapa baru disahkannya sekarang?


Kasus ini bermula saat dr. Terawan melakukan tindakan cuci otak untuk pengobatan berbagai penyakit sejak Juli 2013. Masalahnya, tindakan tersebut belum ada landasan akademiknya, sehingga Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menyarankan dr. Terawan untuk membuat naskah akademiknya dan dr. Terawan menyanggupi untuk menuliskannya dalam waktu 3 bulan. Dari permintaan yang diberikan di tahun 2013, beliau baru menuliskan naskah akademik tersebut di tahun 2015. Akan tetapi, naskah akademik yang ditulis oleh dr. Terawan ternyata dinilai tidak sesuai dengan kaidah evidence based medicine (EBM). Alasan utamanya adalah penelitian yang berfungsi untuk memberikan pelayanan pengobatan harus melalui randomisasi saat percobaan, nah tapi penelitian yang beliau lakukan tidak melalui prosedur tersebut.


“Memang kenapa sih kok butuh dirandomisasi?”

Karena bila tidak dilakukan randomisasi, terdapat kemungkinan kesamaan faktor-faktor lain selain intervensi yang dapat memengaruhi kesembuhan pada kelompok subjek penelitian sehingga dapat menimbulkan bias pada hasil penelitian. Kita jadi tidak bisa tahu apakah kesembuhan pasien benar disebabkan oleh intervensi yang dilakukan atau karena adanya faktor lain di luar intervensi.


Kemudian, pada tahun 2016, MKEK IDI kembali menerima laporan dugaan pelanggaran etik dr. Terawan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).


“Lagi??”

Iya! Karena tindakan yang beliau lakukan kembali melanggar kaidah Kode Etik Kedokteran (KODEKI). Di saat bukti ilmiah intervensi yang dilakukan beliau masih bermasalah, beliau malah mengiklankan tindakan ini secara berlebihan, sampai-sampai menjamin pasiennya bakal sehat setelah berobat  dengan beliau. Biaya yang dikeluarkan untuk tindakan ini pun fantastis, dapat mencapai 50 juta rupiah. Bayangkan, kita harus membayar puluhan juta untuk tindakan yang belum terbukti kebenarannya?


Dari laporan tersebut, MKEK IDI kembali mengundang dr. Terawan sebanyak 6 kali, tetapi hanya dijawab 4 kali.


“Tapi banyak kok testimoni yang bilang kalau mereka sembuh dari tindakan Brain Washing?”

Tunggu dulu, testimoni tidak menggambarkan keseluruhan pasien yang mendapatkan terapi itu. Menurut Dr.dr. M. Nasser, SpKK, DLaw (Ketua ADHKI), testimoni tidak dapat menggantikan bukti ilmiah yang didapat dari uji klinis karena testimoni bersifat subjektif dan dapat berbeda untuk setiap orangnya. Kondisi fisik setiap orang kan berbeda-beda, dan uji klinis itu dibuat untuk membuktikan bahwa tindakan intervensi tersebut teruji pada semua jenis orang.


“Memangnya pernah ada kasus kegagalan terapi BW?”

Sayangnya, ada. Sudah ada beberapa pasien yang mendapatkan terapi BW tapi justru mengalami kecacatan otak dan bahkan kematian! Salah satunya kondisi naas yang dialami oleh pebisnis Singapura, Gerald Liew, dimana tindakan BW justru menyebabkan Gerald mengalami kecacatan otak. Dan yang sangat disayangkan, saat kejadian tersebut terjadi dr. Terawan mengatakan “tidak tahu” apa yang terjadi dan seakan-akan tidak mengakui kesalahannya.


“Serem juga ya, sudah harus bayar mahal buat terapi yang belum ada dasar ilmiahnya apalagi ada resiko cacat seumur hidup bahkan kematian.”

Nah, makanya penting untuk suatu penelitian dilakukan sesuai kaidahnya


Pada Senin, 4 April 2022 lalu, DPR mengadakan rapat dengan IDI mengenai pemecatan dr. Terawan. Dalam kesempatan tersebut, Irma Suryani Chaniago (Komisi IX DPR) menyatakan IDI sudah tidak menjalankan fungsi utamanya sebagai organisasi untuk menyejahterakan anggotanya terlebih statusnya sebagai organisasi profesi hanya dapat memberikan rekomendasi, sehingga sah-sah saja kalau dibubarkan. Bahkan muncul usulan untuk merevisi UU Praktik Kedokteran agar izin praktik menjadi domain penuh pemerintah


Bila dilihat dari narasinya, pernyataan beliau sarat akan kepentingan politis. Kebayang nggak si, kalau IDI dibubarkan lalu siapa yang menjaga standar pelayanan dokter?


Terlebih, pemerintah kan tidak semuanya dokter, punya dasar apa mereka menyatakan kalau seorang dokter itu layak berpraktik di masyarakat?


Proses pemecatan yang dilakukan oleh IDI terhadap dr. Terawan pun sudah melalui prosedur yang benar. Lantas, mengapa DPR dan pemerintah seakan ikut campur? Apa karena ada motif balas budi pejabat dengan dr. Terawan? Bahkan, terdapat anggota DPR yang dengan terang-terangan membela dr. Terawan dan mengaitkannya dengan privilege yang diterimanya dari dr. Terawan saat sakit! Sudah jelas kan kalau pembelaan pejabat-pejabat ini hanya berdasarkan alasan politis?


Maka dari itu, yuk kita desak DPR dan Pemerintah untuk tidak ikut campur dalam penyelesaian kasus dr. Terawan yang merupakan ranah internal profesi ini! Bila proses penegakan etik tidak dilakukan secara tegas, bukan tidak mungkin di masa depan akan muncul kasus serupa dan nyawa pasien yang akan menjadi taruhannya.


"1 tanda tangan = 1 langkah menuju pelayanan dokter yang lebih baik"

398 telah menandatangani. Mari kita ke 500.