Batasi Penggunaan Gadget pada Anak

Batasi Penggunaan Gadget pada Anak
Alasan pentingnya petisi ini
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, dari 264,14 juta jiwa penduduk di Indonesia, 171,71 juta jiwa di antaranya tersambung dan secara aktif menggunakan internet di sepanjang tahun 2018. Catatan lain, untuk kategori anak-anak usia 10-14 mencapai 66,2% sebagai pengguna internet aktif.
Jika tidak digunakan secara bijak, internet bisa mendatangkan masalah. Salah satunya yang sempat viral adalah gangguan kejiwaan pada anak akibat ketergantungan terhadap gadget di Jawa Barat.
Terakhir, faktor internal. dr. Lina menjelaskan bahwa anak dengan faktor tingkat percaya diri rendah lebih berisiko terhadap gangguan kejiwaan akibat kecanduan gadget. Anak dengan masalah psikologis atau yang mengalami trauma akibat sering di-bully juga lebih berisiko terhadap gangguan tersebut. Semua hal ini menyebabkan anak lebih sering untuk menyendiri yang berujung pada depresi.
Gangguan kejiwaan pada anak akibat ketergantungan gadget pada akhirnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh pada tahap yang parah. dr. Lina mencontohkan, untuk kasus pasien anak dengan ketergantungan gadget di RSJ Provinsi Jabar bahkan ada yang tidak mau makan maupun tidak mau mandi, tiap saat tidak bisa lepas dari gadgetnya dan dalam beberapa kasus yang lebih ekstrim anak tersebut sampai putus sekolah karena kecanduan gadget.
Biopsikososial
Ketika kecanduan gadget menjadi gangguan, maka perlu intervensi secara medis. RSJ Provinsi Jawa Barat memiliki intervensi khusus yang dikenal dengan Biopsikososial (biologis, psikologis, dan sosial).
Intervensi biologis dilakukan bila ditemukan depresi, maka harus segera diberikan obat-obatan. Intervensi psikologis diberikan melalui edukasi, konseling, hingga psikoterapi. Intervensi sosial dilakukan dengan cara mengubah mindset lingkungan di mana pasien tinggal.
Lina berharap viralnya gangguan jiwa pada anak akibat ketergantungan pada gadget yang terjadi di provinsi Jawa Barat bisa menyentil pemangku kebijakan terkait, khususnya pihak pemerintahan, untuk mau mulai peduli.
Preventif
Anak menangis atau mengamuk ketika gadget yang dipegangnya diambil paksa menjadi pertanda bahwa anak mulai kecanduan gadget.
Namun, tidak semua orang yang menggunakan gadget bisa dikatakan kecanduan. Patut dicatat bahwa pasti ada faktor risiko yang membuat seseorang lebih rentan menjadi pecandu gadget. Dengan demikian, perlu adanya skrining di sekolah-sekolah terkait kecanduan gadget.
Orangtua juga perlu lebih peka terhadap tanda-tanda kecanduan gadget pada anaknya. Harapannya semua ini menjadi tindakan preventif sehingga gangguan kejiwaan yang lebih berat bisa dideteksi, diatasi, serta diobati lebih cepat.
RSJ Provinsi Jawa Barat sejak 2016 telah menangani 209 pasien anak yang kecanduan gadget, dengan jumlah kunjungan 2 hingga 3 pasien per minggu. Hal ini sebagaimana dikatakan Direktur Umum RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dr. Elly Marliani SPKJ, MKM.
“Bisa dikatakan ketika berita viral terkait gangguan kejiwaan pada anak akibat ketergantungan gadget menyebar, RSJ Provinsi Jawa Barat banyak kedatangan pasien baru. Banyak yang mengakui bahwa mereka baru tahu bahwa di Provinsi Jawa Barat terdapat layanan untuk anak dengan kecanduan gadget. Kebanyakan masyarakat juga baru tahu bahwa ketergantungan gadget seperti ini juga bisa diobati dan layanannya ada di RSJ Provinsi Jawa Barat tanpa perlu ke psikiater,” ujar Elly.
Mengerti kondisi
Lina Budianti, dokter sub-spesialis kesehatan jiwa anak dan remaja, yang terlibat dalam proses penyembuhan pasien anak dengan ketergantungan gadget di RSJ Provinsi Jawa Barat mengatakan, sebelum pasien diperiksa dan diobati, mereka harus mengerti dahulu kondisinya secara umum. Seberapa sehat dan bijak dalam menggunakan gadget selama ini?
Lina menerangkan, para ahli menyarankan penggunaan gadget maksimal 2 jam per hari. Pengguna gadget juga harus mengingat peran dan tugas mereka yang utama di kehidupan nyata, jangan sampai lalai karena penggunaan gadget yang berlebihan. Jangan sampai ketergantungan akan gadget diikuti efek samping seperti menjadi lebih mudah pusing, tidak gampang konsentrasi, hingga pola tidur terganggu.
Efek samping tersebut harus dipahami orangtua, untuk bisa melihat tanda atau kebiasaan yang berbeda pada si buah hati. Namun, dr. Lina menekankan, jika orangtua merasa tidak mampu mengatasi anak-anak yang kecanduan gadget, ada baiknya segera menghubungi psikiater maupun psikolog. Jangan sampai berimbas kepada hal yang lebih berat, seperti anak yang depresi hingga bertindak agresif ketika akses menggunakan gadget dibatasi atau ditutup sama sekali.
Faktor risiko
Ada 3 faktor yang membuat anak menjadi seorang pecandu gadget: faktor internal, faktor eksternal, dan faktor games di gadget itu sendiri.
Faktor eksternal terkait dengan hubungan dan pola asuh orangtua yang kurang bagus; faktor lingkungan tempat anak tinggal, di mana banyak orang di sekitar anak apatis terhadap lingkungan dan sibuk menggunakan gadget sepanjang waktu.
Faktor games menyangkut genre games yang bisa memicu adiksi.
Lina menjelaskan, banyak penilitian yang menjelaskan game online dinilai lebih menyebabkan kecanduan dari pada game offline. Game online bisa dikatakan adalah game unlimited ending – game yang tidak ada habisnya dengan tingkat kesulitan yang semakin meningkat.
Game semacam itu tentu bisa memicu kecanduan pada anak yang belum mampu membagi emosi, konsentrasi dan pikirannya.